Senin, 16 November 2015

Perkembangan Moral dan Agama PAUD



MAKALAH
PERKEMBANGAN MORAL DAN AGAMA, PRINSIP-PRINSIP  PERKEMBANGAN MORAL DAN AGAMA, FAKTOR YANG MEMPENGARUHI SERTA STRATEGI YANG STIMULASINYA



HERONIMUS DAPPA AMA


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
YOGYAKARTA
2015
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami haturkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, atas segala berkat dan hidayahNya sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Penulisan makalah ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak, oleh karena itu kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu.
Kami menyadari bahwa penulisan makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritik dari berbagai pihak yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi penyempurnaan penulisan selanjutnya.














BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pendidikan pada dasarnya bertujuan untuk membentuk manusia menjadi pribadi yang berguna bagi dirinya sendiri, orang lain dan Tuhan. Berbicara mengenai pendidikan tidak terlepas kaitannya dengan perkembangan moral. Karena, pendidikan bertujuan membentuk manusia yang memiliki moral. Dengan menghasilkan output manusia yang bermoral maka diharapkan kualitas sumber daya manusia dan peradaban suatu bangsa menjadi lebih tinggi.
Orang yang memiliki moral akan mampu membedakan mana yang baik dan mana yang salah. Penentuan mana yang baik dan salah ini bukan karena hasil paksaan dari pihak luar, tetapi berasal dari kesadaran sebagai hasil ekstensinya sebagai manusia. Untuk menghasilkan pribadi yang memiliki moral yang baik, tidak bisa dilakukan dalam waktu sekejap. Tetapi harus melalui sebuah proses yang sangat panjang. Proses yang panjang inilah yang akan membentuk moral manusia melalui apa yang dilihat dan dirasakannya saat interaksi dengan dunia sekitar. Interaksi dengan dunia sekitar, akan membuat seseorang untuk mempelajari atau mengerti bagaimana seharusnya dan untuk apa adanya.
Anak yang baru lahir pada dasarnya belum memikiki moral (imoral). Menurut Hurlock (1980), mengatakan bahwa bayi masih tergolong nonmoral yang berarti bahwa perilakunya tidak dibimbing norma-norma moral. Anak akan belajar kode moral dari orang-orang di sekitarnya (orang tua, teman, guru). Belajar berperilaku moral pada masa bayi merupakan suatu proses yang sangat lambat. Tetapi dasar-dasar kode moral ini ditanamkan pada masa bayi dan akan membimbing perilaku moral anak pada masa yang akan datang.
Pembentukan moral pada masa anak-anak sangat penting dilakukan mengingat pada masa ini (anak-anak) adalah masa emas (golden age) bagi seorang anak. Dimana perkembangan otaknya sangat pesat pada masa golden age ini. Oleh karena itu, penanaman konsep moral harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan oleh orang yang memiliki kompetensi dalam bidang atau setidaknya yang mnegrti dunia anak. Hal ini, sesuai dengan pendapat Charles H. Spurgeun sebagaimana yang dikutip oleh Igrea Siswanto dan Sri Lestari (2012), yang mengatakan “Seorang anak akan menjadi apa kelak tergantung dengan siapa saat ini ia mendapatkan”.

B.     Rumusan Masalah
Masalah dalam makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.      Bagaimana pengertian perkembangan moral dan agama?
2.      Bagaimana prinsip-prinsip perkembangan moral dan agama?
3.      Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perkembangan moral dan agama?

C.    Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1.      Agar mahasiswa mengetahui pengertian, prinsip-prinsip, dan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan moral dan agama.
2.      Untuk mengetahui tahap-tahap perkembangan moral dan agama anak usia dini.






BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Perkembangan Moral dan Agama
1.      Pengertian Moral dan Agama
Menurut Lorens Bagus (1996) dalam Sjarkawi (2006), kata Moral berasal dari bahasa latin, yaitu dari kata mos (adat istiadat, kebiasaan, cara, tingkah laku, kelakuan), atau mores (adat istiadat, kelakuan, tabiat, watak, akhlak, cara hidup). Helden (1977) dan Richards (1971) dalam Sjarkawi (2006), moral adalah suatu kepekaan dalam pikiran, perasaan, dan tindakan dibandingkan dengan tindakan lain yang tidak hanya berupa kepekaan terhadap prinsip dan aturan. Selanjutnya, Atkinson (1969) dalam Sjarkawi (2006), mengemukakan moral merupakan pandangan tentang baik dan buruk, benar dan salah, apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan.
Sedangkan, agama merupakan suatu sistem kepercayaan. Menurut Gazalba (1987) dalam Ghufron dan Risnawita (2010) mendefenisikan religiutas berasal dari kata religi dalam bahasa Latin “religio” yang akar katanya adalah religure yang artinya mengikat. Dengan demikian, religi atau agama mengandung arti aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh pemeluknya. Monks (1989) agama sebagai keterdekatan yang lebih tinggi dari manusia kepada Yang Maha Kuasa yang memberikan perasaan aman. Sementara Shihab (1993) menyatakan bahwa agama hubungan antara makhluk dengan Khalik (Tuhan) yang berwujud ibadah yang dilakukan dalam sikap keseharian.
 Daradjat (1993) dalam  Ghufron dan Risnawita (2010) mengatakan, agama merupakan kesadaran beragama dan pengalaman beragama. Kesadaran beragama adalah aspek yang terasa dalam pikiran yang merupakan aspek mental dari aktivitas beragama. Sedangkan, pengalaman beragama adalah perasaan yang membawa kepada keyakinan yang dihasilkan oleh tindakan.
Hurlock (1973) dalam Ghufron dan Risnawita (2010) mengatakan bahwa religi terdiri dari dua unsur, yaitu unsur keyakinan terhadap ajaran agama dan unsur pelaksanaan ajaran agama. Spinks (1963) dalam Ghfron dan Risnawita (2010) mengatakan bahwa agama meliputi adanya keyakinan, adat, tradisi, dan pengalaman individual.
Jadi, dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa perkembangan moral dan agama adalah suatu kesadaran yang dimiliki oleh anak tentang baik tidaknya suatu tindakan dalam menghayati hubungannya dengan sang Khalik (Tuhan).

B.     Prinsip-prinsip perkembangan moral dan agama
Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan fisik dan psikis, anak-anak usia dini juga mengalami perkembangan moral. Menurut Santrock (1995) dalam Deswita (2005), perkembangan moral adalah perkembangan yang berkaitan dengan dengan aturan dan konvensi mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan orang lain.
Anak-anak ketika dilahirkan belum memiliki moral (imoral), tetapi dalm dirinya terdapat potensi moral yang siap dikembangkan. Oleh karena itu, melalui pengalamannya berinteraksi dengan  orang lain, anak belajar memahami tentang perilaku mana yang baik, yang boleh dikerjakan dan tingkah laku mana yang buruk, yang tidak boleh dikerjakan.
Dalam perilaku bermoral didalamnya terdapat nilai-nilai yang dianut. Ini menunjukkan apa yang baik, benar, patut serta seharusnya terjadi. Jika terjadi peringatan, pembuatan janji, memulai serta maksud membela diri menyatakan penyesalan/menggambarkan suatu harapan.
Sikap moral sebagian besar diteruskan dari generasi ke generasi, penampilan sikap dapat mengalami perubahan sejalan dengan perkembangan kepribadian yang mewarnai perilaku seseorang. Ia aktif dan selektif membentuk sikap untuk berperilaku bermoral dalam lingkungannya. Dalam perkembangan kepribadian seseorang mungkin bersikap mempertahankan nilai-nilai lama (konservatif)/mengasimilasai perubahan kearah kemajuan (progresif). Hal-hal ini menjadi prinsip moral selaku pedoman yang mewarnai/mendominasai perilakunya.
Dalam mempelajari perkembangan sikap moral peserta didik usia sekolah, Piaget (Hurlock, 1990) mengemukakan tiga tahap perkembangan moral sesuai dengan kajian pada aturan dalam permainan anak.
1.      Fase absolut, dimana anak menghayati peraturan sebagai sesuatu hal yang mutlak, tidak dapat diubah, karena berasal dari otoritas yang dihormati (orang tua, guru, anak yang lebih berkuasa).
2.      Fase realitas, dimana anak menyesuaikan diri untuk menghindari penolakan orang lain. Dalam permainan, anak menaati aturan yang disepakati bersama sebagai suatu kenyataan/realitas yang dapat diubah asal disetujui bersama.
3.      Fase subjektif, dimana anak memperhatikan motif atau kesengajaan dalam memahami aturan dan gembira mengembangkan serta menerapkan.
Dalam kategori perkembangan moralnya, Kohlberg (Hurlock, 1990) mengemukakan tiga tingkat dengan enam tahap perkembangan moral.
1.      Tingkat 1: prakonvensional. Pada tingkat ini aturan berisi aturan moral yang dibuat berdasarkan otoritas. Anak tidak melanggar aturan moral karena takut ancaman atau hukuman dari otoritas. Tingkat ini dibagi menjadi empat tahap: (1) tahap orientasi terhadap kepatuhan dan hukuman pada tahap ini anak hanya mengetahui bahwa aturan-aturan ini ditentukan oleh adanya kekuasaan yang tidak bisa diganggu gugat. Anak harus menurut, atau kalau tidak, akan mendapat hukuman. (2) tahap relativistik hedonosme pada tahap ini anak tidak lagi secara mutlak tergantung pada aturan yang berada di luar dirinya yang ditentukan orang lain yang memiliki otoritas. Anak mulai sadar bahwa setiap kejadian mempunyai beberapa segi yang bergantung pada kebutuhan (relativisme) dan kesenangan seseorang (hedonisme).
2.      Tingkat 2: konvensional. Pada tingkatan ini anak mematuhi aturan yang dibuat bersama agar diterima dalam kelompoknya. Tingkat ini juga terdiri dari dua tahap. (1) tahap orientasi mengenai anak yang baik. Pada tahap ini anak mulai memperlihatkan orientasi perbuatan yang dapat dinilai baik atau tidak baik oleh orang lain atau masyarakat. Sesuatu dikatakan baik dan benar apabila sikap dan perilakunya dapat diterima oleh orang lain atau masyarakat. (2) tahap mempertahankan norma sosial dan otoritas. Pada tahap ini anak menunjukkan perbuatan baik dan benar bukan hanya agar dapat diterima oleh lingkungan masyarakat di sekitarnya, tetapi juga bertujuan agar dapat ikut mempertahankan aturan dan norma/ nilai sosial yang ada sebagai kewajiban dan tanggung jawab moral untuk melaksanakan aturan yang ada.
3.      Tingkat 3: pasca konvensional. Pada tingkat ini anak mematuhi aturan untuk menghindari hukuman kata hatinya. Tingkat ini juga terdiri dari dua tahap. (1) tahap orientasi terhadap perjanjian antara dirinya dengan lingkungan sosial. Pada tahap ini ada hubungan timbal balik antara dirinya dengan lingkungan sosial dan masyarakat. Seseorang menaati aturan sebagai kewajiban dan tanggung jawab dirinya dalam menjaga keserasian hidup masyarakat. (2) tahap universal. Pada tahap ini selain ada norma pribadi yang bersifat subyektif ada juga norma etik (baik/buruk, benar/ salah) yang bersifat universal sebagai sumber menentukan sesuatu perbuatan yang berhubungan dengan moralitas.
Teori perkembangan moral yang dikemukakan Kohlberg seperti halnya Piaget menunjukkan bahwa sikap dan perilaku moral bukan hasil sosialisasi atau pelajaran yang diperoleh dari kebiasaan yang berhubungan dengan nilai kebudayaan semata-mata. Tetapi juga terjadi sebagai akibat dari aktivitas spontan yang dipelajari dan berkembang melalui interaksi sosial anak dengan lingkungannya.



C.    Faktor-faktor yang mempengaruhi moral dan agama
Anak dilahirkan tanpa moral (imoral) sikap moral untuk berperilaku sesuai nilai-nilai luhur dalam masyarakat belum dikenalnya. Intervensi terprogram melalui pendidikan, serta lingkungan sosial budaya, mempengaruhi perkembangan struktur kepribadian bermuatan moral. Ini dialami dalam keluarga bersama teman sebaya dan rekan-rekan sependidikan, kawan sekerja/kegiatan ditengah lingkungan.
1.      Perubahan dalam lingkungan
Perubahan dan kemajuan dalam berbagai bidang membawa pergeseran nilai moral serta sikap warga masyarakat ditengah perubahan dapat terjadi kemajuan/kemrosotan moral. Perbedaan perilaku moral individu sebagian adalah dampak pengalaman dan pelajaran dari lingkungan nilai masyarakatnya. Lingkungan memberi ganjaran dan hukuman. Ini memacu proses belajar dan perkembangan moral secara berkondisi.
2.      Struktur kepribadian.
Psikoanalisa (Freud) menggambarkan perkembangan kepribadian termasuk moral. Dimulai dengan sistem ID, selaku aspek biologis yang irasional dan tak disadari. Diikuti aspek psikologis yaitu subsistemego yang rasional dan sadar. Kemudian pembentukan superego sebagai aspek sosial yang berisi sistem nilai dan moral masyarakat. Ketiga subsistem kepribadian tersebut mempengaruhi perkembangan moral dan perilaku individu. Ketidakserasian antara subsistem kepribadian, berakibat seseorang sukar menyesuaikan diri, merasa tak puas dan cemas serta bersikap/berperilaku menyimpang. Sedang keserasian antara subsistem kepribadian dalam perkembangan moral akan berpuncak pada efektifnya kata hati (superego) menampilakan watak/perilaku bermoral seseorang.
Ada sejumlah faktor penting yang mempengaruhi perkembangan moral anak (Hurlock, 1990).
a.       Peran hati nurani atau kemampuan untuk mengetahui apa yang benar dan salah apabila anak dihadapkan pada situasi yang memerlukan pengambilan keputusan atas tindakan yang harus dilakukan.
b.      Peran rasa bersalah dan rasa malu apabila bersikap dan berperilaku tidak seperti yang diharapkan dan melanggar aturan.
c.       Peran interaksi sosial dalam memberik kesepakatan pada anak untuk mempelajari dan menerapkan standart perilaku yang disetujui masyarakat, keluarga, sekolah, dan dalam pergaulan dengan orang lain.

D.    Strategi stimulasi
Pada awal masa pertumbuhan, bayi belum memiliki hirarki nilai atau nonmoral artinya perilakunya belum dibimbing oleh norma-norma moral (Hurlock, 1990: 90). Semua tindakannya belum berdasarkan dengan norma moral yang dianut oleh orang-orang sekitarnya. Belajar moral pada masa-masa ini (bayi) merupakan suatu proses yang lama. Oleh karena itu, bimbingan orang tua dan orang-orang sekitarnya sangat berpengaruh dalam perkembangan moral anak. Keluarga sebagai tempat pertama anak memperoleh bimbingan harus mampu menanamkan da
sar-dasar moral kepada anak. Menurut Hurlock, (1990) mengatakan bahwa dasar-dasar yang diletakkan pada masa bayi akan membangun kode-kode moral yang akan membimbing perilakunya pada masa yang akan datang.
Menurut Sutirna (2013), ada beberapa cara yang dilakukan oleh orang tua/pendidik untuk menstimulasi perkembangan moral dan agama pada anak, yaitu  :
1.      Menanamkan ajaran agama kepada anak sedini mungkin. Misalnya, dengan mengajari sholat, sembahyang.
2.      Mengenalkan konsep sayang terhadap sesama dan toleransi terhadap orang lain serta konsep hal milik.
3.      Memberikan dan mengajarkan kesopanan pada anak secara bertahap, yaitu pemberitahuan (flash), pengulangan (splash), dan aksi (action).
4.      Mengajarkan dan mengenalkan peraturan-peraturan yang berlaku di sekitar.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Berdasarkan uraian di a
tas, dapat disimpulkan bahwa bayi sejak lahir belum memiliki moral/nonmoral (Hurlock, 1980). Proses belajar moral bagi amak merupakan suatu hal yang membutuhkan waktu lama dan lambat. Perkembangan moral anak berawal sejak anak mulai berinteraksi dengan orang-orang sekitarnya (termasuk teman bermain, orang tua, dan guru). Penanaman kode moral anak dimulai sejak awal/usia dini karena perilaku anak pada masa berikutnya sangat berpengaruh dengan perkembangan moral masa sebelumnya.
Menanamkan konsep moral pada anak usia dini harus distimulasi dengan permainan yang menuntut kerja sama, kedisiplinan. Selain itu, anak diajarkan cara-cara melakukan ibadah yang disesuaikan dengan karakteristik anak. Orang tua bisa kreatif dengan menempelkan gambar-gambar yang bernuansa religi, gambar masjid, gereja, pura, dan lain sebagainya. Sehingga seiring dengan perkembangan otak, anak dapat tahap demi tahap mengerti tata aturan yang berlaku dalam masyarakat tempat ia tinggal dan pada tahap yang lebih tinggi mampu membedakan mana yang baik-buruk, benar-salah.









DAFTAR PUSTAKA
Desmita. 2005. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Ghufron, N. M. Dan Risnawita, R. S. 2010. Teori-teori Psikologi. Yogyakarta: Ar-ruzz Media.
Hurlock, E. B. 1990. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, edisi V. Jakarta: Erlangga.
Sjarkawi. 2006. Pembentukan Kepribadian Anak: Peran Moral, Intelektual, Emosional, dan Sosial sebagai Wujud Integritas Membangun Jati Diri. Jakarta: Bumi Aksara.
Sutirna. 2013. Perkembangan dan Pertumbuhan Peserta Didik. Yogyakarta: Andi Offset.
Siswanto, I. Dan Lestari, S. 2012. Panduan bagi Guru dan Orangtua: Pembelajaran Atraktif dan 100 Permainan Kreatif untuk Pendidikan Anak Usia Dini. Yogyakarta: Andi Offset

Tidak ada komentar:

Posting Komentar